Archives for category: Tidak terkategori

Alizar Tanjung
Surat Untuk Shita

;Shita
kepergianku pada negeri orang
negeri lupa ngurarai yang
kubangun sejak dahulu kala
shita, bukanlah candu
di sana kukubur puisi untukmu
sengaja kutumpangkan
aku yakin
Tuhan juga percaya
bahwa tanah takkan berbohong

;Shita
pada barisan pertama
“salam Shita, semoga kau tak lupa
bahwa kita bertemu sunyi
pernah di perpanjangan malam
setengah guntai di sepetak mata
pada retak gelap dan rembulan lenyap”
;Shita Baca entri selengkapnya »

(Catatan Pementasan Kotakku Rumahku, Teater Size. Taman Budaya Sumbar 31 Mei 2008)

“Tadi jadi rocker, kini jadi anak teater awak lai.” Seorang kawan berceloteh seperti itu sambil makan kuaci di sebuah kafe yang terletak di salah satu sudut taman budaya Sumatra Barat. Bagaimana tidak, di depan gedung Teater Utama masih riuh bunyi musik rock dan sorak-sorai penonton, sedangkan tak jauh dari sana, yakni di Teater Tertutup, sebuah naskah yang berjudul Kotakku Rumahku karya Paul Maar, dkk, akan dipentaskan oleh grup Teater Size yang disutradarai oleh Zamzami Ismail.. Baca entri selengkapnya »

dongeng-dongeng-tua2

Judul Buku : Dongeng-dongeng Tua
Pengarang : Iyut Fitra
Penerbit : AKAR Indonesia
Cetakan : Pertama, Januari 2009
Tebal : 138 hal, 14 x 21
Resensiator : Esha Tegar Putra

Bagi saya membaca puisi sama dengan menyusun serakan ‘catatan’ tentang peristiwa keseharian. Puisi mengusung ingatan saya menyusuri lekuk kehidupan dunia lewat makna yang saya terima dari setiap susunan kata, struktur bahasa, tentunya metafor yang dinukilkan di dalamnya. Apa yang saya baca—juga pembaca lainnya barangkali—sebentuk usaha pemaknaan dari rasa yang ditangkap oleh penulis (penyair) dari puisi tersebut. Baca entri selengkapnya »

/setumpak sajak/

darimanakah rima pantun berbunyi bersibantun

kalaulah bukan orang jauh yang melantun

duh, tubuh dipisah serupa ubi patah di tampuk

bilamana peristiwa lama tingal gaung batang berlubang

—malanglah kita semua, yang lupa berpantun berseloka.

sungguh kita tak sedang memisahkan garam dari air laut,

tak sedang meremas asam di atas talam tembaga,

tak berusaha meminang unggas betina untuk si jantan.

aduhai berpantun…. memasang sunting-pasang kopiah

bagi nada ingatan yang hendak berpiuh dendang lama.

hei, orang jauh. dihela juga hendaknya kisah malang si anak dagang.

sambil menyeruput kopi dan rokok sebatang, mari mengingat

pulau pandan jauh di mata dan batang cempedak di tepi bandar

yang ditanam anak orang bukittinggi. agar pertalian lama terkebat erat

dan kalimat di gelanggang tak sekedar riuh persabungan ayam

pantun bakal menari, berpiuh setumpak sajak, berdekap kuat gurindam.

inilah pantun si anak dagang, menumpang di biduk rumpang

meyeberangi teluk, merenangi selat, agar beralamat

pada lengang kampung:

/sekodi pantun/

ke pulau perca membeli lada

lada dibeli pencampur gulai

mulanya pantun hendak direnda

dari bismillah kita memulai

anak bincacak anak bincacau

pandai menggesek rebab pesisir

kalaulah tuan hendak meracau

janganlah pantun ini dicibir

pinang merebah ke parak orang

batang bergabuk digurik kumbang

perihal cinta minta diulang

berkalang tanah badan di petang

berkulik elang bukit langkisau

pertanda hujan segera datang

kalau direntang si benang risau

tak bakal terpijak tanah kampung

tuan kopi pergi ke padang

membeli baju corak melayu

mengapa dinda berdiri seorang

ingin rasanya kanda merayu

bujang pariaman pergi merantau

menggoda gadis sambil menggalas

dalam badan angin menghalau

sebab di kampung kenangan tumpas

disuruh ke surau mengaji nahu

malah rebana ramai ditepuk

ini derita siapa yang tahu

sebab di badan sakit menumpuk

parang dibeli di pasar lereng

bikinan orang tanjungbarulak

jikalau datang sakit meradang

diberi obat jangan menolak

pisang setandan masak didulang

peneman duduk kita di lepau

inilah pantun pengiring dendang

untuk diingat bujang di rantau

teluk bayur di pantai padang

labuhan olanda dan orang siam

janganlah buruk pantun dipandang

bakal peredam rindu yang dalam

tuan datuk makan di lepau

rendang dipesan dendeng yang datang

dalam mimpi dinda menghimbau

makin memuncak rinduku kampung

kapal merapat di bandar muar

kapiten berdiri di ujung geladak

hendak dengan apa rindu dibayar

di rantau dagang belumlah tegak

membeli kambing di muarapanas

pasarnya ramai alangkah riuh

kiranya cinta dimana bertunas

biarlah rasa menunjukkan arah

anak ayam main di semak

diintai musang berbadan legam

dalam hujan ingatan merebak

dinda seorang bisa meredam

di tengah sawah angin merendah

layang-layang tak jadi terbang

di badan rasa sudah terdedah

harapan dagang bakal menghilang

bunga tanjung tumbuh di tepian

harumnya diarak angin gebalau

apalah arti di rantau sendirian

kesana-kemari tak ada menghirau

induk beras pergi ke pasar

membeli kemeja lengan panjang

dagang belumlah cukup besar

masih terkejut dihardik orang

berliku jalan ke bukittinggi

di lembah anai singgah dahulu

jangankan dagang terbang meninggi

di rantau masih menahan malu

tegak menjulang gunung merapi

kokoh merentang gunung singgalang

jikalau dagang tidak menepi

alamat badan benar menghilang

ke bakauheuni kapal disauh

dari merak kita menumpang

inilah pantun si orang jauh

bakal pengobat rindukan kampung

Jalantunggang, 2009

cover-pena-kencana

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal : 160 halaman
Terbit : Pebruari 2009

Puisi-puisi yang dimuat dalam buku ini telah terseleksi oleh koran-koran terkemuka di Indonesia. Setelah sekali lagi disaring oleh tim juri Pena Kencana (Sapardi Joko Damono, Sitok Srengenge dan Joko Pinurbo) terpilihlah 60 puisi yang temanya bervariasi. Tahun lalu, “Kidung Pohon” karya Jimmy Maruli Alfian terpilih sebagai puisi terbaik pilihan pembaca via sms.

Para penyair dalam buku ini:
Acep Zamzam Noor, Alois A. Nugroho, A. Muttaqien, Ari Pahala Hutabarat, Deddy Arsya, Esha Tegar Putra, Fitri Yani, Frans Nadjira, Gunawan Maryanto, Hasan Aspahani, Inggit Putria Marga, I Nyoman Wirata, Isbedy Stiawan ZS, Jamal D. Rahman, Joko Pinurbo, Komang Ira Puspitaningsih, Kurnia Effendi, Lupita Lukman, Mardi Luhung, Marhalim Zaini, Nana Rishki Susanti, Nersalya Renata, Ni Made Purnama Sari, Nirwan Dewanto, Oka Rusmini, Ook Nugroho, Ramon Damora, Romi Zarman, Sindu Putra, Sunlie Thomas Alexander, Timur Sinar Suprabana, Triyanto Triwikromo, TS Pinang, Warih Wisatsana

sebab ricik air adalah helaan suara dari bukit lampu, sebab segala tumbuh dihela suara bukit lampu

kalau kau dengar, suara itu. yang muncul dari

bukit lampu. tentunya kau tak ingin menyegerakan diri untuk pergi mencapai batu karang dimana suar olanda terus memutar cahaya

kalau kau dengar, suara itu. yang muncul dari

bukit lampu. tentunya kau tak akan menyegerakan diri untuk pergi menyusuri rel yang putus-putus menuju stasiun lama, tempat gerbong-gerbong kereta karatan masih mengendapkan bara

kalau kau dengar, suara itu yang muncul dari

bukit lampu. tentunya kau tak ingin menyegerakan diri untuk beranjak dari bangku kayu ruyung di jalanan pantai yang semakin landai—dan di jalanan itu penuh surai rindang daun kelapa

suara itu, suara lama yang muncul dari bukit lampu dimana kau, dia, dan mereka menyimpulkan setiap hitungan hari yang hilang menjadi tali-tali puisi. tak ada sepertiga malam atau petang, tak ada pekan atau senayan

dan tali-tali itulah yang kau, dia, dan mereka rajut lalu bawa menuju tanah perantauan.

suara itu, suara yang mengandung bunyi gesekan rebab bertuah si pengelana buta dengan puluhan kisah turunan dari langit—macam malin berbini orang bugis, macam malin mengusir para perompak, macam malin dengan kapal bermeriam bola baja, macam malin…

“kau, dia, dan mereka bakal merindukan suara itu. dari daratan jauh (daratan yang tak terkirim cahaya suar bukit lampu)”

kali saja kita dipertemukan pada tali puisi yang membuhul serupa, sebab aku sedang melamunkan duduk di geladak kapal yang sedang menurunkan sauh. duh, terdengar juga suara itu, suara lama yang mengirimkan keping-keping tiram dari pulau seberang. suara yang selalu diamsalkan sebagai rindunya para bujang-gadis

moga kita dipertemukan pada buhulan yang sama. buhulan tali-tali puisi, yang terkirim cahaya suar (dan tentunya juga suara-suara dari puncak bukit lampu)

sebab ricik air adalah helaan suara dari bukit lampu, sebab segala tumbuh dihela suara bukit lampu

**

sebab ricik air adalah helaan suara dari bukit lampu, sebab segala tumbuh dihela suara bukit lampu

kalau kau datang ke tanah ini—tanah tempat raja-raja hilang dalam berpangku.

tolong bawakan seikat rubaiyat bikinan orang melayu. agar dibacakan di tepian pantai tempat segala sayang dibenam-dimakamkan. setelah itu, akan kuhantarkan kau berjalan-jalan menyusuri ujung sampai ke pangkal hikayat tanah ini

“mulai dari pesisir panjang dimana ombak tak membunyi debur, sampai ke lubuk dimana buaya berdagu putih tidur”

“akan selalu kau dengar suara-suara dari bukit lampu, mulai dari kau memijakkan kaki sampai kau melepas kata pergi”

”agar kau maklumi, sebab apa yang kau dengarkan adalah suara-suara sepi yang selalu menyipi di setiap diri”

“kali saja kau mengerti, sebab apa yang dituahkan itu merupakan musabab munculnya titik api (dari gunung yang dulunya sebesar telur itik)”

tentunya kau takkan sadar, bahwa bayanganmu telah dirompak dan dipisahkan jauh dari badanmu (oleh suara dari bukit lampu) pada waktu yang tidak terucapkan oleh semalam membibir

“rapalkanlah dalam diam diri, sesuatu tentang tanah ini, yang menyimpan peristiwa-peristiwa lama, mirip dedak rendang yang hangus di tungku dapur. ah, tajam baunya sampai ke pucuk hidung, membuat lidah bergoyang. tapi rasanya, alamak asinnya…”

sebab ricik air adalah helaan suara dari bukit lampu, sebab segala tumbuh dihela suara bukit lampu

**

sebab ricik air adalah helaan suara dari bukit lampu, sebab segala tumbuh dihela suara bukit lampu

suara lembah suara pantai,

suara yang dikirim dari bukit lampu,

suara yang berkejaran

dari bukit siguntang

menuju laut sakti-rantau bertuah

“siapa yang menyamun malam hingga menjadikannya rasi bintang yang tak jelas, rasi bintang yang lindap-padam di keruh air payau?”

“siapa yang merompak tidur hingga mata berpicing tapi garam dan asam melecut terus dalam diri?”

“apakah kau, maling berpisau panjang yang berbau tubuh masam?”

kalaulah ini mula dari pantun atau gurindam

takkan ingin kau berkunjung ke tanah ini. (sebab pantun dan gurindam bukanlah baris-baris ucapan sakit) tentunya takkan kau dengar surau-suara dari bukit lampu. tempat para siam dan olanda

mula merunkan sekoci

“kubisikkan sesuatu kepadamu:

kalaulah kau bawa sedecak air dari pulau seberang, lalu kau siramkan ke batang apasaja di tanah ini maka akan kau lihat setiap bagian batang itu berkelumun takut, mengerucut”

suara-suara dari bukit lampu berupa gema penghormatan, tempat ingatan-ingatan lama bermain. kau akan melihat setiap diri berjoged gamad beriring gelembung bunyi akordion—bukit lampu adalah ujung dari segala tanjung. tempat orang-orang mengirim bergema lama. gema yang bersahutan setiap kali diri diam

sebab ricik air adalah helaan suara dari bukit lampu, sebab segala tumbuh dihela suara bukit lampu

Lembah Harau, 2008

Apa Kabar
Penyair Perempuan Mutakhir Sumatra Barat?

langitpun menua, sayang!
jika kau ke ladang, rabalah pematang
kemarin-kemarin masih usang

lisut kakimu serupa aku
setelah kerak nasi, kita tak lagi meneguk

(selembar risalat, Ria Febrina)

Baca entri selengkapnya »

Salam Budaya,

Yayasan Metropoli Indonesia (YMID) merupakan organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pengembangan kesenian dan kebudayaan untuk anak-anak desa.
YMID akan menggelar “Rembug Budaya Metropoli 2008” tanggal 18 – 21 Oktober 2008. Berbagai kegiatan seni budaya akan ditampilkan, diantaranya pementasan, perlombaan, pemutaran film dan pameran karya anak-anak. Kegiatan ini melibatkan semua Center Metropoli (CM) atau Pusat Budaya yang tersebar di dua kecamatan (Abang dan Bebandem, Kab. Karangasem, Bali) dan akan dihadiri oleh sejumlah undangan dan masyarakat luas. Baca entri selengkapnya »

Judul Buku : Mata Air Akar Pohon

Penulis : Nur Wahid Idris

Penerbit : [SIC] Yogyakarta

Cetakan : Pertama, April 2008

Tebal : 96 hlm; 13,5 x 20 cm

aku terikat oleh kelahiran

kau terikat susuan

membiru dan mengalir di sungai-sungai

dengan tebing-tebingnya

yang selalu mengucapkan

selamat tinggal…

Baca entri selengkapnya »