(Catatan Pementasan Kotakku Rumahku, Teater Size. Taman Budaya Sumbar 31 Mei 2008)

“Tadi jadi rocker, kini jadi anak teater awak lai.” Seorang kawan berceloteh seperti itu sambil makan kuaci di sebuah kafe yang terletak di salah satu sudut taman budaya Sumatra Barat. Bagaimana tidak, di depan gedung Teater Utama masih riuh bunyi musik rock dan sorak-sorai penonton, sedangkan tak jauh dari sana, yakni di Teater Tertutup, sebuah naskah yang berjudul Kotakku Rumahku karya Paul Maar, dkk, akan dipentaskan oleh grup Teater Size yang disutradarai oleh Zamzami Ismail..
31 Mei 2008, kira-kira pukul 20:00, udara Padang lembab karena hujan turun rintik-rintik. Orang-orang di kafe yang sedang menunggu pementasan Kotakku Rumahku mulai beranjak menuju ruangan teater tertutup. seketika masuk, apa yang tersaji di panggung? Dua buah kotak sebagai properti, yang ukurannya berbeda; satu besar, dan satunya lagi kecil; kotak yang kecil bagian depannya (menghadap penonton) ditutupi kain berwarna merah sedangkan kotak yang besar diberi kertas minyak putih dan digambar dengan spidol hitam. Kedua kotak tersebut bagian atasnya tidak tertutup. Dan saya (mungkin juga penonton kebanyakan) bertanya pada diri sendiri: Apa ya isi dalam kotak tersebut?
Lampu redup setelah MC selesai membacakan sinopsis dari pertunjukkan yang disutradarai oleh Zamzami Ismail ini. Terlihat dari dalam gelap dua orang memasuki masing-masing kotak. Tap, lampu pertunjukan dihidupkan, musik cyber (baca: musik komputer) berbunyi.

Kotak, Logat, dan Idientitas
Dua pemain yang tadinya masuk ke dalam kotak muncul dan terlihat setengah bagian badannya. Di kotak kecil seorang pemain memakai topi putih bundar sedang melap-lap sepatu yang warnanya berbeda; hitam dan putih. Sebuah kotak kecil (kardus) dilemparkannya ke luar. Satu orang lagi, pemain yang mengisi kotak besar melihat-lihat dari kotaknya.
“Zakarrr…,” aktor yang mengisi kota besar menyahut kepada aktor di kotak kecil—yang masih melap-lap sepatu belangnya—dan dengan marah sahutan berbalas, “Zakarudins…, Peot.” Oh, ternyata aktor yang berada di kotak kecil namanya “Zakarundins”, dan ia tidak mau jika huruf “s” di belakang namanya tertinggal penyebutannya oleh “Peot”—aktor kotak besar.
Dari adegan inilah mulai terlihat perbedaan, peng-kotak-an, yang dimaksud dengan judul naskah. Ingatan saya juga berbalik pada ucapan MC yang tadinya menyebutkan: “semuanya tentang kotak”. Bagaimana tidak, sutradara membuat dua latar perbedaan budaya yang diselipkan melalui dialek masing-masing aktor. Zakarudins—yang tidak mau “s” namanya tertinggal”—ternyata seorang lelaki Minang dan Peot ternyata seorang lelaki Sunda. Dialek pembawaan masing-masing aktor tersebut mampu menyedot penonton dalam bermacam lawakkan budaya yang khas. Semacam komedi satir yang membuat penonton geli sendiri.
Beberapa lawakkan “bodoh,” penertawaan terhadap “diri sendiri” sering kali terdengar. Aktor terus berinteraksi dari kotaknya masing-masing. Lihat saja permainan sepatu (simbol) yang sedang dilap-lap Zakarudins—ternyata sepatunya belang. Peot pun mengatakan bahwa, “jangan-jangan sepatumu kena penyakit! Hii…, aku tidak maun tertular, dekat-dekat!”
Pada pementasan ini, “sepatu yang belang” dijadikan simbol dari semacam kebodohan (pembodohan?). Kebodohan juga terlihat pada permainan sapu tangan oleh Peot, sapu tangan berlubang yang dianggap aneh, sapu tangan berlubang yang bagian depan dan belakangnya disamakan dengan kotak.
Dua kultur dan pemikiran yang bertolak belakang sangat menonjol sekali dari karakter yang dimiliki Zakarudins dan Peot. Yang satu ingin menipu dengan kecerdikkannya, yang lain ingin membalas tipuan dengan keluguannya.
Ah…, dua aktor yang berbeda “kotak,” kotak yang merupakan perlambangan “milik pribadi,” yang sangat personal sekali, kotak yang menimbulkan tipuan-tipuan konyol dan “bodoh,” hingga membuat Zakarudins dan Peot bertengkar. Pada hal jauh dalam diri mereka, sebuah “rasa” saling memiliki dan takut kehilangan telah terjalin. Tapi egoisme membuat mereka terus melakukan tuntutan dan berbagai penipuan bodoh terhadap temannya. Apa benar begitu adanya keadaan sekarang?
Ada beberapa adegan lain yang menunjukkan sebuah gambaran yang sifatnya “psikis” harus tergadai dengan benda yang “fisik”. Hal ini terlihat pada permainan kotak kecil (milik Zakarudins), dan kotak besar (milik Peot). Pada saat Zakrudins memutar kotaknya 180 derajat ternyata warna bagian depan kotaknya berubah menjadi hijau. Peot pun terperanjak dan mengatakan kotak Zakarudins “Ajaib,” dan penonton pun tertawa geli melihat tingkah Peot dan penipuan Zakarudins. Keinginan untuk mencoba, bertukar tempat, bahkan ingin memiliki hak orang lain pun membuat Peot rela dipermainkan secara tidak manusiawi oleh Zakarudins. Berkali-kali Zakarudin menipu peot dengan bermain air (kran air) dengan menggunakan air milik Peot.
Begitu pula sebaliknya, kotak Peot ternyata “Ajaib.” Bagaimana tidak, kotak Peot yang bagian sampingnya berlubang jika dimasukkan tangan akan berubah jadi besar pada satu sisi dan kecil pada sisi lainnya.
Memang benar adanya, sifat ingin memiliki membuat dua orang tokoh dalam pementasan Kotakku Rumahku ini ingin memiliki hak tokoh lainnya dengan cara apa pun. Sekalipun harus menggadaikan harga diri dan cap jelek terhadap (milik) orang lain.
Komedi satir yang menjadi pembenaran terhadap realitas dalam pementasan ini. Peristiwa demi peristiwa dipapah dengan lawakan yang memancing imajinasi penonton pada peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Apakah benar adanya seperti itu? Peng-kotak-an, atau rasa kepemilikan yang besar dan rasa ingin memiliki yang sama besarnya, akan membuat kepuasan tersendiri bagi si pengkotak-kotak?
Pada bagian lain, setelah bermacam permainan bodoh tapi kritis yang dibuat oleh Zakarudins dan Peot, muncul seorang (aktor) yang berpakaian seragam, bersepatu lars tinggi, dan membawa genderang ala komandan baris-berbaris. Genderang terus dibunyikan hingga memancing keinginan Zakarudins dan Peot untuk mencoba sekaligus menjadi orang yang berseragam tersebut. Perlombaan “siapa yang dikenal oleh bapak yang berpakaian seragam” itu pun membuat Zakarudins dan peot saling dahulu-mendahului.
Ternyata pemain yang berseragam memakai logat Batak. Mungkin ini benar-benar strategi sutradara untuk mempertemukan tiga kebudayaan melalui logatnya dalam sebuah pementasan. Saya merasa tidak nyaman seketika tokoh (aktor) ketiga ini masuk. karena banyolan yang dibuatnya terkesan tidak pas (seperti dibuat-buat kesannya). Pada adegan inilah papahan menuju klimaks pertunjukan, yakni penyelesaian (mungkin juga pengaburan) dari segala permasalahan Zakarudins dan Peot dimunculkan. Keinginan Zakarudins dan Peot untuk mencoba “genderang” dan belajar “baris-berbaris” membuat mereka berdua harus menyogok bapak yang berpakaian seragam.
Zakarudins beberapa kali menyogok dengan uang dan Peot hanya meyogok dengan sapu tangan bolong. Zakarudins dan peot juga ingin memperlihatkan kehebatan kotaknya pada pemain yang berseragam. Suap-menyuap pun terjadi dan peot tidak bisa memberikan apa-apa, otomatis pemain yang berseragam melirik kotaknya Zakarudins.
Tanpa disangka, ternyata orang yang berpakaian seragam yang dianggap “hebat dan berwibawa” itu ternyata seorang penipu. Zakarudins dan Peot disuruh berkeliling-keliling dengan genderang dan cara berbaris yang baik, akan tetapi dia menyurukkan kotak milik Zakarudis dan Peot, mirip tukang gusur rumah. Pada adegan ini muncul lagi “rasa” persahabatan mereka, bahwasanya mereka adalah orang yang merasa dirugikan.
Banyolan baru pun terjadi seketika, kotak—pada awalnya adegan dilempar oleh Zakarudis keluar kotaknya—disulap menjadi besar. Perselisihan baru timbul lagi, mengenai “siapakah yang berhak memiliki kotak itu?” Pada akhir adegan beberapa nyanyian tentang permasalahan Indonesia terdengar, kenaikan BBM, kemelaratan, dan hal-hal yang menyangkut kaum kecil.

Konsep Menertawakan Diri
Kiranya ini merupakan pementasan yang baik dan sukses menurut saya. Dengan panggung minimalis dan lawakan budaya yang menggelikan mampu membuat penonton menunggu, lawakan apalagi yang bakal muncul. Adakalanya pementasan ini membuat urat syaraf tegang. Seketika kebodohan-kebodohan dan penertawaan terhadap diri sendiri muncul di panggung. Tentang ini saya juga ingat sebuah acara “4 Mata” yang di bawakan oleh Tukul Arwana. Selain mengeksplorasi ke”bodoh”an dirinya, ia juga menertawakan orang lain sehingga di konsep itulah kesuksesan acaranya. Yang jelas pada pementasan Kotakku Rumahku ini ada konsep kuat yang diusung oleh sutradaranya.
Kotakku Rumahku sebuah lawakan budaya yang pas dengan kondisi sekarang ini. Bukan maksud saya untuk terlalu mengagungkan pementasan ini. Tetapi itulah yang saya dapat dari hasil tontonan saya terhadap pementasan ini.
Sampai pementasan berakhir, dan orang-orang bubar dari gedung Teater Tertutup, Padang (juga saya) basah dalam hujan. Suara musik rock dari depan gedung Teater Utama masih terdengar.
Setidaknya sesuatu telah saya dapat dan bawa. Mungkin semacam kotak di pikiran saya. Akhir kata selamat atas pementasan teater Size; Kotakku Rumahku. Salam budaya, salam kreatif!