Alizar Tanjung
Surat Untuk Shita

;Shita
kepergianku pada negeri orang
negeri lupa ngurarai yang
kubangun sejak dahulu kala
shita, bukanlah candu
di sana kukubur puisi untukmu
sengaja kutumpangkan
aku yakin
Tuhan juga percaya
bahwa tanah takkan berbohong

;Shita
pada barisan pertama
“salam Shita, semoga kau tak lupa
bahwa kita bertemu sunyi
pernah di perpanjangan malam
setengah guntai di sepetak mata
pada retak gelap dan rembulan lenyap”
;Shita Baca entri selengkapnya »

cover pinangan orang ladang

Pinangan Orang Ladang (Kumpulan Puisi)

Pengarang : Esha Tegar Putra

Penerbit: Frame Publishing (Yogya)

Tebal :123 halaman

Ukuran :13,5 x 20 cm

Harga : Rp. 25.000

Esha, membaca syair-syairmu, aku bersua dengan bahasa yang sekarat dalam nikmat. Tidak, kau tidak menghidupkan bahasa, hanya membuat sakitnya tertanggungkan. Seperti cinta. Karena cinta.
Arif Bagus Prasetyo—kritikus sastra

Ibarat pecatur, Esha telah menampilkan jurus pembukaan yang cerdas. Memikat perhatian. Saya kira dia akan menjadi petarung yang panjang nafas dan perlu diperhitungkan. Saya bayangan nanti dia akan memainkan banyak jurus baru yang memukau.
Hasan Aspahani—penyair, wartawan, bloger

“… Orang Ladang” yang baik. Akhirnya kubaca kau di malam buta. Segenap lambang, segala imaji yang membentang, semuanya berjejalan hendak membentuk sebuah tatanan. Ada yang saling bertabrakan; ada yang seiring-sejalan. Maka, aku tak heran, kenapa sesekali ada ledakan, ketenangan, kegalauan, dari sebuah pencarian …
Romi Zarman—cerpenis

Untuk pemesanan silahkan hubungi sdr. Indrian Koto di 081802717528. Pembelian buku di atas 5 eksemplar tidak dikenai biaya kirim. buku akan dikirim jika anda sudah mentransfer uang ke No rekening 0117443522 BNI Cabang UGM Atas Nama Indrian Toni bisa juga pemesanan melalui email: indriankoto@gmail.com atau http://www.facebook.com/profile.php?id=1615778708&ref=name

MENGUKUR JARAK

akhirnya aku tahu, antara singgalang dan buahbatu
ada yang terentang serupa benang, yakni matamu; mata perdu

meski sesekali aku tersesat di jalan panjang dan tubuh jalang
bayangmu tumbang di antara serak bunyi puput batang padi Baca entri selengkapnya »

Seretan Suara

suara siapakah yang menyeretmu hingga tergelepar di tepian pesisir

dengungnya tak seperti bunyi lebah, gaungnya tak seperti desiran angin

yang beradu kian-kemari di punggung lembah. suara siapakah

yang telah menelantarkan tubuhmu hingga tak sanggup lagi merapal Baca entri selengkapnya »

(Catatan Pementasan Kotakku Rumahku, Teater Size. Taman Budaya Sumbar 31 Mei 2008)

“Tadi jadi rocker, kini jadi anak teater awak lai.” Seorang kawan berceloteh seperti itu sambil makan kuaci di sebuah kafe yang terletak di salah satu sudut taman budaya Sumatra Barat. Bagaimana tidak, di depan gedung Teater Utama masih riuh bunyi musik rock dan sorak-sorai penonton, sedangkan tak jauh dari sana, yakni di Teater Tertutup, sebuah naskah yang berjudul Kotakku Rumahku karya Paul Maar, dkk, akan dipentaskan oleh grup Teater Size yang disutradarai oleh Zamzami Ismail.. Baca entri selengkapnya »

dongeng-dongeng-tua2

Judul Buku : Dongeng-dongeng Tua
Pengarang : Iyut Fitra
Penerbit : AKAR Indonesia
Cetakan : Pertama, Januari 2009
Tebal : 138 hal, 14 x 21
Resensiator : Esha Tegar Putra

Bagi saya membaca puisi sama dengan menyusun serakan ‘catatan’ tentang peristiwa keseharian. Puisi mengusung ingatan saya menyusuri lekuk kehidupan dunia lewat makna yang saya terima dari setiap susunan kata, struktur bahasa, tentunya metafor yang dinukilkan di dalamnya. Apa yang saya baca—juga pembaca lainnya barangkali—sebentuk usaha pemaknaan dari rasa yang ditangkap oleh penulis (penyair) dari puisi tersebut. Baca entri selengkapnya »

/setumpak sajak/

darimanakah rima pantun berbunyi bersibantun

kalaulah bukan orang jauh yang melantun

duh, tubuh dipisah serupa ubi patah di tampuk

bilamana peristiwa lama tingal gaung batang berlubang

—malanglah kita semua, yang lupa berpantun berseloka.

sungguh kita tak sedang memisahkan garam dari air laut,

tak sedang meremas asam di atas talam tembaga,

tak berusaha meminang unggas betina untuk si jantan.

aduhai berpantun…. memasang sunting-pasang kopiah

bagi nada ingatan yang hendak berpiuh dendang lama.

hei, orang jauh. dihela juga hendaknya kisah malang si anak dagang.

sambil menyeruput kopi dan rokok sebatang, mari mengingat

pulau pandan jauh di mata dan batang cempedak di tepi bandar

yang ditanam anak orang bukittinggi. agar pertalian lama terkebat erat

dan kalimat di gelanggang tak sekedar riuh persabungan ayam

pantun bakal menari, berpiuh setumpak sajak, berdekap kuat gurindam.

inilah pantun si anak dagang, menumpang di biduk rumpang

meyeberangi teluk, merenangi selat, agar beralamat

pada lengang kampung:

/sekodi pantun/

ke pulau perca membeli lada

lada dibeli pencampur gulai

mulanya pantun hendak direnda

dari bismillah kita memulai

anak bincacak anak bincacau

pandai menggesek rebab pesisir

kalaulah tuan hendak meracau

janganlah pantun ini dicibir

pinang merebah ke parak orang

batang bergabuk digurik kumbang

perihal cinta minta diulang

berkalang tanah badan di petang

berkulik elang bukit langkisau

pertanda hujan segera datang

kalau direntang si benang risau

tak bakal terpijak tanah kampung

tuan kopi pergi ke padang

membeli baju corak melayu

mengapa dinda berdiri seorang

ingin rasanya kanda merayu

bujang pariaman pergi merantau

menggoda gadis sambil menggalas

dalam badan angin menghalau

sebab di kampung kenangan tumpas

disuruh ke surau mengaji nahu

malah rebana ramai ditepuk

ini derita siapa yang tahu

sebab di badan sakit menumpuk

parang dibeli di pasar lereng

bikinan orang tanjungbarulak

jikalau datang sakit meradang

diberi obat jangan menolak

pisang setandan masak didulang

peneman duduk kita di lepau

inilah pantun pengiring dendang

untuk diingat bujang di rantau

teluk bayur di pantai padang

labuhan olanda dan orang siam

janganlah buruk pantun dipandang

bakal peredam rindu yang dalam

tuan datuk makan di lepau

rendang dipesan dendeng yang datang

dalam mimpi dinda menghimbau

makin memuncak rinduku kampung

kapal merapat di bandar muar

kapiten berdiri di ujung geladak

hendak dengan apa rindu dibayar

di rantau dagang belumlah tegak

membeli kambing di muarapanas

pasarnya ramai alangkah riuh

kiranya cinta dimana bertunas

biarlah rasa menunjukkan arah

anak ayam main di semak

diintai musang berbadan legam

dalam hujan ingatan merebak

dinda seorang bisa meredam

di tengah sawah angin merendah

layang-layang tak jadi terbang

di badan rasa sudah terdedah

harapan dagang bakal menghilang

bunga tanjung tumbuh di tepian

harumnya diarak angin gebalau

apalah arti di rantau sendirian

kesana-kemari tak ada menghirau

induk beras pergi ke pasar

membeli kemeja lengan panjang

dagang belumlah cukup besar

masih terkejut dihardik orang

berliku jalan ke bukittinggi

di lembah anai singgah dahulu

jangankan dagang terbang meninggi

di rantau masih menahan malu

tegak menjulang gunung merapi

kokoh merentang gunung singgalang

jikalau dagang tidak menepi

alamat badan benar menghilang

ke bakauheuni kapal disauh

dari merak kita menumpang

inilah pantun si orang jauh

bakal pengobat rindukan kampung

Jalantunggang, 2009

cover-pena-kencana

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal : 160 halaman
Terbit : Pebruari 2009

Puisi-puisi yang dimuat dalam buku ini telah terseleksi oleh koran-koran terkemuka di Indonesia. Setelah sekali lagi disaring oleh tim juri Pena Kencana (Sapardi Joko Damono, Sitok Srengenge dan Joko Pinurbo) terpilihlah 60 puisi yang temanya bervariasi. Tahun lalu, “Kidung Pohon” karya Jimmy Maruli Alfian terpilih sebagai puisi terbaik pilihan pembaca via sms.

Para penyair dalam buku ini:
Acep Zamzam Noor, Alois A. Nugroho, A. Muttaqien, Ari Pahala Hutabarat, Deddy Arsya, Esha Tegar Putra, Fitri Yani, Frans Nadjira, Gunawan Maryanto, Hasan Aspahani, Inggit Putria Marga, I Nyoman Wirata, Isbedy Stiawan ZS, Jamal D. Rahman, Joko Pinurbo, Komang Ira Puspitaningsih, Kurnia Effendi, Lupita Lukman, Mardi Luhung, Marhalim Zaini, Nana Rishki Susanti, Nersalya Renata, Ni Made Purnama Sari, Nirwan Dewanto, Oka Rusmini, Ook Nugroho, Ramon Damora, Romi Zarman, Sindu Putra, Sunlie Thomas Alexander, Timur Sinar Suprabana, Triyanto Triwikromo, TS Pinang, Warih Wisatsana

Oleh: Esha Tegar Putra

Menyimak tulisan Romi Zarman (RZ), dengan judul Catatan atas Forum Diskusi Sastra Sumbar (Padeks, Minggu, 15/2), membuat saya kembali bertanya-tanya tentang wajah kesenian dan lembaga kesenian Sumbar hari ini. Ya, bagaimanakah wajah kesenian dan lembaga kesenian Sumbar hari ini? Kiranya pada tulisan RZ tersebut, data yang dipaparkan merupakan data faktual dalam kesusastraan Sumbar hari ini, sastrawan dan penyebaran karyanya. Juga forum-forum yang dilaksanakan berdasarkan ide-ide dari para penggiat sastra yang merasa kurangnya apresiasi, “penghargaan”, apalagi perhatian lembaga semacam Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), yang seharusnya menjadi ruang dan mediasi bagi kelansungan dunia kesenian, termasuk perkembangan kesusastraan yang dibahas RZ. Baca entri selengkapnya »

Di senja usianya, lelaki tua itu masih bersetia dengan kalam, dawat, dan kertas. Dengan penuh ketelitian ia celupkan kalam ke botol dawat, berhati-hati ia mengangkat tangannya kembali, agar dawat tak tumpah. Perlahan ia goreskan kalam yang berdawat itu ke atas kertas di depannya. Mulailah ia bersitekun menulis ajaran tasawuf yang telah melekat pada dirinya dengan aksara Arab, bukan karena buta huruf latin. Siang itu, selepas Zuhur, di sebuah Surau di tepi batang air yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Baca entri selengkapnya »