Padang Ilalang Perburuan
Cerpen: Rifan Nazhif

SENJA menggeliat di puncak Tor Siojo. Sepi memagut. Rumpun-rumpun ilalang, terhempas angin, berbunyi perlahan seiring bunga-bunganya yang seperti kapas, melambung tinggi. Berputar searah angin. Membubung, sampai akhirnya jatuh di kaki bukit barisan yang masih perawan.

Matahari semerah saga mengecup pucuk-pucuk daun ilalang. Seperti membakar kehijauan. Seperti membuarkan bau daun yang hangat memenuhi rongga dada.
Mariana, ya…perempuan yang sedang duduk di atas batu itu, telah sekian lama menungguku. Alangkah manis dia. Alangkah indah dia mengenakan baju terusan putih dengan motif kembang-kembang. Rambutnya yang sedikit pirang terbakar matahari musim kemarau, menyembul indah dari bawah tudung lebar.

Mariana, ya… perempuan yang sedang mematung menatap persawahan di kaki bukit barisan. Perempuan yang hampir separuh bulan ini telah membuat hatiku tidak keruan. Sampai senja terasa selalu lebih cepat berganti malam, setiap kali kami beradu kata di puncak Tor Siojo yang lengang.

Dia adalah perempuan cantik. Perempuan kota yang baru beberapa bulan menamatkan kuliahnya di fakultas kedokteran. Kebetulan, karena ingin berlibur, dia akhirnya menumpukan hasrat pulang ke Kotanopan. Sebuah kecamatan kecil yang terapit bukit barisan. Sebuah kecamatan mungil seperti kota yang berada di dasar kuali.
Mariana adalah cucu Kakek Marihot, lelaki tua yang juga menjadi tetanggaku. Suatu kebetulan lagi, tapi termasuk keberuntungan bagiku yang sekian lama memimpikan perempuan modern seperti Mariana. Bukan seperti perempuan-perempuan dusun seperti kebanyakan. Dengan pikiran-pikiran mereka yang monoton dan kolokan. Selalu saja mereka bersikap sebagaimana benda mati setiap kali sudah berkeluarga. Kalau tidak melayani suami di tempat tidur, pasti di dapur atau bercengkerama dengan anak-anak. Hanya sebatas itu! Tidak lebih! Dalam impian mereka, sedikitpun tidak terbersit untuk berbuat lebih dari yang biasa. Seperti bersolek, memakai pakaian-pakaian bagus, atau merubah cara berpikir lebih modern. Mengikuti kursus-kursus keterampilan atau kepribadian misalnya.

Tapi mana mungkin di kecamatan sekecil ini semua itu ada? Paling-paling kegiatan yang menyita waktu perempuan-perempuan kolokan itu hanyalah berkebun atau ke sawah. Atau beternak itik dan ayam. Heh, menyebalkan!

Dan sesuatu yang lain itu dapat kutemukan dari sosok bernama Mariana. Perempuan dari Jakarta. Perempuan modern. Dari pancaran sinar matanya, aku tahu dia begitu pintar. Betapa pangling rasanya bila dia berbicara tentang perempuan. Tentang emansipasi dan tetek-bengek lainnya. Tapi yang membuatku semakin menggilai Mariana, adalah penampilannya itu. Dia teramat menarik. Setiap kali mataku mencumbu penampilannya, selalu saja batin ini tidak bosan. Apalagi ketika hidungku mencium aroma tubuhnya. Hmm, betapa indahnya kau perempuan!

“Hai, Moratua! Sudah lama berdiri di situ?” Mariana menatapku lekat. Dia melepas tudung. Membiarkan angin senja menerbangkan anak-anak rambutnya.
Aku gugup. Kugigit-gigit ujung rumput sambil menatap matahari merah saga membakar pucuk-pucuk ilalang.

“Ke mari!” Dia melambai. Menyuruhku duduk di sebelahnya. “Kau kok diam saja di situ dari tadi? Padahal aku sudah lama menunggu. Kupikir kau tidak hadir sore ini. Tapi tidak apa toh…. Berdiam sendirian di puncak bukit ini merupakan keindahan yang tidak mungkin diucapkan bagaimana rasanya. Setiap kali duduk di sini, perasaan penatku seakan lepas terbawa angin. Masa kuliah sekian tahun yang penuh rutinitas melelahkan, seolah lekang begitu saja.” Dia menepuk ujung lulutku, sehingga darah ini langsung berdesir.

“Pacarmu tidak marah melihat kita selalu berduaan setiap sore di sini?”
“Pacar?” Aku tertawa lepas. Suara anak-anak yang sedang bermain layang-layang di tengah hamparan padi yang siap panen, membuatku mendongak sebentar ke arah kaki bukit. Terkadang meskipun jauh di sana, tapi angin selalu sekali-dua membawa suara mereka ke puncak Tor Siojo.

“Apakah di wajahku ada tanda-tanda telah memiliki pacar?”
“Lho, siapa tahu toh! Umurmu kan hampir kepala tiga sekarang. Mustahil belum berpacaran.”

“Umur tidak menentukan seseorang harus berpacaran atau tidak.” Kutatap matanya yang sebening telaga. Mariana, kau tahu hanya dirimulah yang akan mengisi relung hatiku. Tidak siapa-siapa! Bukan pula perempuan-perempuan dusun yang membosankan!

Aku berharap menjalin cinta dengan Mariana. Aku memimpikan betapa indahnya kelak kehidupan kami. Tinggal di kecamatan mungil dengan dua bocah yang sedang nakal-nakalnya. Bagaimana dia akhirnya menjadi dokter dermawan yang membantu masyarakat kurang mampu. Sementara aku tetap menjadi guru mengaji di pesantren, sambil sehari-dua pergi ke ibukota kabupaten berniaga barang-barang hasil hutan.
“Kau memang pandai berdiplomasi, Moratua! Aku salut kepadamu. Kalau kuliah di filsafat, kau pasti hebat! Sayang waktu dan keadaan tidak mengijinkan semua itu terwujud.” Dia melirik arloji. Menatap matahari semerah saga yang diam-diam meninggalkan ubun-ubunnya di pucuk daun-daun ilalang. “Sudah hampir malam. Pulang yuk!” Dia menggamit lenganku, sehingga membuat jantung berdetak tidak keruan. Sungguh aku ingin melepaskan tangan ini dari rengkuhannya. Malu, kalau-kalau dilihat anak didik di dusun. Tapi melepaskannnya aku merasa enggan. Selain tidak ingin membuat Mariana tersinggung, rengkuhannya jujur kukatakan amat hangat.

“Ayo!” Kulihat anak-anak yang sedari tadi bermain-layang-layang di tengah persawahan mulai pulang seorang demi seorang.

* * *

“Apa? Kau jatuh hati kepada Mariana?” Lumban Toruan menepuk bahuku. “Apa kata orang-orang nanti? Ingat, Moratua, kau itu guru pesantren. Meskipun baru honor, toh orang yakin kau lebih mengenal agama ketimbang mereka. Bagaimana mungkin kau akhirnya mencintai perempuan modern seperti dia? Berpakaian saja tidak becus! Selalu mempertontonkan aurat. Kau tidak melihat perempuan-perempuan di dusun…”

“Seperti Fatimah yang berjilbab, atau Siti, Nur?” selaku cepat. Lumban Toruan mengangguk tegas. “Ah, perempuan kolokan seperti mereka? Bosan! Tidak kau lihat betapa memikatnya Mariana yang bergaya modern. Sama seperti cara berpikirnya yang selalu ingin selangkah lebih maju dari lelaki.”

“Kau akan dipijak-pijaknya!”

“Diam!” Kututup mulutnya. “Suaramu jangan terlalu keras. Nanti Mariana mendengar, dan akan membenciku karena kita telah memperbincangkannya.”
“Bodoh!”

Tiba-tiba pintu rumah berderit. Tiga buah kepala menyembul dengan roman lugu.
“Kenapa kalian ke mari?”

“Kita tidak mengaji lagi sore ini, Bang Moratua?” tanya Zukir sedikit memprotes.
Lumban Toruan tertawa sambil berlalu dari hadapanku. “Sudahlah, guru kalian lebih mementingkan perempuan modern itu daripada mengajar mengaji.”

“Lumban!” bentakku. Tapi dia sudah menghilang di balik pintu.
“Perempuan modern mana, Bang?” Zukir tersenyum malu-malu. Ketiga bocah itu saling mengedipkan mata. “Pasti Kak Mariana, kan?”

“Tahu apa kalian? Sana main di luar saja!”

Mereka perlahan ke luar. “Tapi kita mengaji sore ini kan, bang?” Zukir menatapku dengan memelas.

“Mengaji! Tapi abang akan datang terlambat!” Sambil berlari-lari kecil Zukir tersenyum menggoda. “Jangan berpikiran macam-macam!”

Sepi menggeliat di puncak Tor Siojo. Gerimis turun membiarkan matahari semerah saga tertelan halimun. Suara ruak-ruak (burung ayam-ayam) terdengar lamat dihembuskan angin dingin.

Mariana merapatkan jaket tebal berbahan wol. Dia mengatupkan mulut. Matanya tajam menuju lembah. Memperhatikan para bapak dan ibu tani bergegas merapikan padi yang sudah dipanen ke atas gerobak. Mereka tidak ingin padi itu akan basah dan lembab. Sebab padi-padi akan susah digiling menjadi beras. Lagi pula dia akan cepat lapuk.
Aku mengembangkan payung di atas kepala Mariana yang tidak tertutup tudung seperti biasanya. Dia pelan-pelan menyalakan sigaret. Lalu menghembuskan asap mengepul, menimbulkan halimun halus yang sebentar saja lenyap ditiup angin dingin.
Sungguh, tiba-tiba aku mual melihat Mariana merokok. Tidak sepantasnya perempuan seperti dia melakukan pekerjaan merusak itu. Tapi karena rasa cinta yang mengubun, akhirnya perbuatannya kumaklumi. Mungkin itu merupakan suatu prestise dari perempuan-perempuan modern.

“Kenapa kau kelihatan sedih?” Untuk pertama kalinya aku berani menepuk bahunya lebih dulu. Dia mencoba menutupi kegalauan sambil tersenyum tipis. Namun aku tidak mungkin dipungkiri oleh tatapan matanya yang setenang telaga. Aku tahu Mariana sedang gundah. Aku tahu dia butuh tempat mencurahkan perasaan gulana kepada seseorang seperti lelaki dusun ini.

“Besok aku akan pamit, karena sore harinya aku sudah harus berangkat ke Medan. Kemudian langsung terbang ke Jakarta.” Dia menarik napas lambat. Dibuangnya sigaret ke tanah yang mulai becek. “Senja-senja seperti ini tentu tidak akan ada lagi. Tidak akan ada bunga-bunga ilalang yang tertiup angin. Tidak akan ada suara teriakan anak-anak yang sedang bermain layang-layang di persawahan. Juga suara ruak-ruak. Matahari semerah saga yang membakar pucuk-pucuk ilalang. Dan tidak akan ada juga lelaki seperti kau yang setia menemaniku menikmati alam bebas merdeka. Moratua, aku akan sangat merindukanmu.”

Kurengkuh bahunya lebih berani. Kurapatkan kepalanya ke pipiku, sehingga tercium wangi shampoo mahal yang menerbitkan selera birahi.

“Kenapa harus secepat ini, Mariana? Tidakkah kau tahu aku baru merasakan sepercik rasa cinta dari kehadiranmu? Mariana, jujur kukatakan bahwa kaulah seorang yang mampu meluluhkan hati ini. Kaulah yang merubah anggapanku tentang perempuan. Karena bagiku perempuan selalu kolokan dan bagikan benda mati. Tapi kau tidak! Kau memiliki daya magis yang kuat. Kau memiliki apa yang seharusnya dimiliki perempuan yang ingin maju. Bukan menjadi budak suami di rumah. Hanya tahu ditiduri, bekerja di dapur dan mengasuh anak-anak.” Kutarik napas panjang. “Aku mencintamu! Aku mencintaimu!”

Tanpa sadar kukecup bibir Mariana. Dia tidak berusaha menghindar, bahkan membalas cepat. Memagut lebih dalam, sehingga tubuh kami serupa arca yang tidak mungkin terpisah. Aku tidak ingat lagi siapa diriku, yang selalu mengkhutbahkan kepada anak-anak kampung tentang bagaimana tatacara bergaul antar sesama muslim berlain jenis. Bagaimana menjaga aurat. Bagiaman menjaga hubungan sehingga tidak terjerumus kepada perbuatan zina. Meskipun itu zina yang sekecil-kecilnya; zina mata!
Aku seolah membenarkan semua perbuatan bejat ini. Toh ketika malaikat-malaikat diberi Tuhan nafsu syahwat, mereka tidak mampu juga bertahan. Mereka melakukan zina, sampai akhirnya dihukum di Selat Bermuda yang menyimpan seribu misteri dan ghaib-ghaib.

Sementara aku hanya seorang guju mengaji. Guru honor! Perduli apa kata orang. Kuhempaskan tubuh Mariana ke atas tanah becek. Hujan yang membesar semakin melecut birahi. Kami berkubang di puncak Tor Siojo serupa kerbau. Rumpun-rumpun ilalang menjadi saksi bisu, sampai malam-malam benar pekat. Sampai kami merasakan betapa Gunung Sorik Marapi laksana meletus.

“Kau nakal!” Mariana mengecup bibir bawahku.

“Kau juga!”

Kupapah perempuan modern itu menuruni bukit yang licin karena hujan. Ketika hampir mencapai ujung pematang sawah, kaki Mariana tergelincir. Kami pun terjerembab ke atas persawahan yang masih tergenang air. Kami berdua tertawa. Tertawa lepas di kaki padang ilalang perburuan. Sampai akhirnya selintas cahaya memerangkap, dan kami berdua menyimpan malu di pipi memerah.

* * *

“Kau terpaksa harus pergi dari dusun ini bersama Mariana, Moratua!” tekan Kakek Marihot di tangga depan rumahku. “Kenapa? Bisa saja aku dan dia menikah di sini, Kakek! Kemudian mengasuh anak-anak kami sampai besar. Berilah kami kesempatan!”

Kakek Marihot menyimpan bara di matanya. “Tidak! Kalian telah mengotori dusun ini. Telah mengotori padang ilalang perburuan. Kakek tidak ingin dusun ini menanggung perbuatan tersebut. Kakek tidak ingin harimau jejadian memunculkan diri karena ada warga dusun yang berbuat zina.” Dia merengkuh lenganku dengan keras. “Berbenahlah! Kakek akan mengantarmu dan Mariana ke Medan malam ini, sebelum warga dusun mencium perbuatan kalian.” “Tapi?”

“Tidak! Ini harus kalian lakukan!”

* * *

Dua hari kemudian aku dan Mariana sudah sampai di Jakarta. Setiba di bandara, Mariana menggenggamkan segepok uang kepadaku. Dengan tatapan enteng dia berkata, “Kita berpisah di sini! Kau bukan tipeku. Kau tidak cocok menjadi suamiku. Silahkan menjelajahi bumi Jakarta. Ini adalah padang ilalang perburuan sebenarnya. Selamat berjuang, kawan!”

“Mariana!”
Dia tidak menoleh lagi, selain menyetop taksi. Kemudian berlalu meninggalkan percikan air yang membasahi ujung celanaku.

***

SS RIFAN NAZHIP, SS,, seorang karyawan swasta di Palembang Sumatera Selatan yang menyenangi berat karya-karya tulis. Dari karya-karya yang dikirimnya ke redaksi membuktikan ia telah mempunyai konsistensi sebagai seorang penulis.